Terlampir sepucuk surat dokter dari garda terdepan yang ditujukan kepada seluruh masyarakat....
Mari kita simak!
"Saya adalah seorang dokter garda depan melawan wabah.
Sejak timbulnya wabah, kami semua tenaga medis menghadapinya sebagai peperangan tanpa asap senapang, dan tanpa ragu kami bergabung ke dalam medan perang pertahanan melawan wabah.
Kami menganggap diri kami adalah prajurit, yang berkewajiban maju ke depan, dengan darah dan daging melawan wabah penyakit, merebut nyawa seseorang dari cengkraman malaikat maut.
Namun sebenarnya kami juga hanyalah manusia dan bukan malaikat.
Di area isolasi penyakit yang paling berbahaya, pakaian pelindung yang kami pakai harus betul-betul sangat tebal dan ketat, dengan demikian baru bisa menjamin keselamatan hidup kami.
Masker harus pakai 2 lapis, Pembungkus Sepatu (shoe cover) pakai 2 lapis,
Sarung tangan pakai 5 lapis, di bagian luar kaca mata pelindung masih harus pasang masker pelindung.
Setiap 5 jam sebagai 1 shift. Setelah memakai pakaian pelindung, kami tidak bisa makan, minum atau ke toilet.
Dengan mengenakan pakaian isolasi yang rapat tidak tembus udara dan kaca mata pelindung, seluruh team bekerja keras dalam perjuangan, semua orang merasakan keterbatasan fisik.
Ketika kami melepaskan pakaian pelindung, pakaian di dalam kami basah kuyub seluruhnya. Pada bagian wajah kami juga timbul garis-garis guratan bekas kaca mata pelindung.
Ada dokter yang sudah teramat capek, badannya sudah hampir ambruk, setelah masuk daerah penyangga dan minum seteguk air, kembali masuk ke area isolasi untuk melanjutkan bekerja.
Ada juga dokter yang jari tangannya terluka, setelah dibungkus rapat dengan kantong plastik kembali ke tempat berjuang di garda depan.
Kami juga punya orang tua, kami juga punya anak dan keluarga. Kami tidak memikirkan keselamatan diri kami, tidak memikirkan apakah diri sendiri hidup atau mati, demi merebut nyawa manusia dari malaikat maut
Mari kita simak!
"Saya adalah seorang dokter garda depan melawan wabah.
Sejak timbulnya wabah, kami semua tenaga medis menghadapinya sebagai peperangan tanpa asap senapang, dan tanpa ragu kami bergabung ke dalam medan perang pertahanan melawan wabah.
Kami menganggap diri kami adalah prajurit, yang berkewajiban maju ke depan, dengan darah dan daging melawan wabah penyakit, merebut nyawa seseorang dari cengkraman malaikat maut.
Namun sebenarnya kami juga hanyalah manusia dan bukan malaikat.
Di area isolasi penyakit yang paling berbahaya, pakaian pelindung yang kami pakai harus betul-betul sangat tebal dan ketat, dengan demikian baru bisa menjamin keselamatan hidup kami.
Masker harus pakai 2 lapis, Pembungkus Sepatu (shoe cover) pakai 2 lapis,
Sarung tangan pakai 5 lapis, di bagian luar kaca mata pelindung masih harus pasang masker pelindung.
Setiap 5 jam sebagai 1 shift. Setelah memakai pakaian pelindung, kami tidak bisa makan, minum atau ke toilet.
Dengan mengenakan pakaian isolasi yang rapat tidak tembus udara dan kaca mata pelindung, seluruh team bekerja keras dalam perjuangan, semua orang merasakan keterbatasan fisik.
Ketika kami melepaskan pakaian pelindung, pakaian di dalam kami basah kuyub seluruhnya. Pada bagian wajah kami juga timbul garis-garis guratan bekas kaca mata pelindung.
Ada dokter yang sudah teramat capek, badannya sudah hampir ambruk, setelah masuk daerah penyangga dan minum seteguk air, kembali masuk ke area isolasi untuk melanjutkan bekerja.
Ada juga dokter yang jari tangannya terluka, setelah dibungkus rapat dengan kantong plastik kembali ke tempat berjuang di garda depan.
Kami juga punya orang tua, kami juga punya anak dan keluarga. Kami tidak memikirkan keselamatan diri kami, tidak memikirkan apakah diri sendiri hidup atau mati, demi merebut nyawa manusia dari malaikat maut
Previous
Posting Lebih BaruNext
Posting Lama
Posted by Maret 23, 2020 and have
0
komentar
, Published at