Cumi-cumi adalah hewan laut yang dapat menyemburkan tinta untuk mengelabui musuh yang akan memangsanya. Sebagian besar zat pada tinta tersebut dibuat dari pigmen gelap yang disebut melamin, yang tersuspensi dalam lendir kental bersama dengan sejumlah kecil hal-hal lain seperti asam amino.
Pada dasarnya cumi-cumi adalah salah satu hewan yang dihalalkan oleh syariat Islam untuk dikonsumsi, sama seperti hewan laut lainnya.
Lalu bagaimana hukum mengkonsumsi tinta yang dihasilkan cumi-cumi ini? Ada perbedaan pendapat dari para ulama,
1. Pendapat ulama yang mengatakan bahwa tinta cumi-cumi ini adalah alat pelindung diri yang khas dimilikinya, tidak semua hewan laut punya itu. Artinya, cairan tinta ini tidak bisa disamakan dengan kotoran yang dimiliki oleh hewan-hewan laut lainnya. Karena kotoran-kotoran tersebut secara umum dihukumi najis. Dengan kata lain, tinta tersebut hukumnya suci sehingga boleh mengonsumsinya.
Dari mana sumbernya? Berikut dijelaskan dalam kitab Bulghat at-Thullab:
ـ (مسألة: ث) السواد الذي يوجد في بعض الحيتان مما اختلف فيه هل هو من الباطن فيكون نجسا أو لا فيكون طاهرا, فينبغي للعاقل أن يتحققه لأنّ هذا مما يتعلّق بالعيان. قلت: يعني أنّ هذا السواد إذا كان من الباطن فهو أشبه بالقيئ فيكون نجسا وإلّا فهو أشبه باللعاب فيكون طاهرا. وقد قال بعض مشايخنا: أنّ هذا السواد شيء جعله الله لصاحبه ترسا يتترس به عن كبار الحيتان فإذا قصده حوت كبير ليأكله أخرج هذا السواد فاختفى به عنه فلا يقاس بالقيئ ولا باللعاب لكونه خاصا له بهذه الخصوصية ويكون طاهرا والله أعلم
“Warna hitam yang ditemukan di sebagian jenis ikan merupakan sebagian persoalan yang diperselisihkan apakah termasuk kategori cairan yang keluar dari bagian dalam ikan sehingga tergolong najis, atau bukan dari bagian dalam sehingga dihukumi suci. Hendaknya bagi orang yang berakal agar memperdalam permasalahan ini karena termasuk suatu hal yang berhubungan dengan realitas. Aku (pengarang) berkata cairan hitam ini jika memang berasal dari bagian dalam maka lebih serupa dengan muntahan sehingga dihukumi najis, jika tidak dari dalam maka serupa dengan air liur sehingga dihukumi suci.
Sebagian guruku pernah berkata: “cairan hitam ini merupakan sesuatu yang diciptakan oleh Allah pada hewan yang memilikinya untuk dijadikan tameng agar dapat berlindung dari makhluk laut yang lebih besar. Ketika terdapat makhluk laut besar yang akan memangsanya maka ia mengeluarkan cairan hitam ini agar dapat bersembunyi. Maka cairan hitam ini tidak dapat disamakan dengan muntahan ataupun air liur, sebab cairan hitam ini adalah sesuatu yang menjadi ciri khas hewan ini, sehingga dihukumi suci” (Syekh Thaifur Ali Wafa, Bulghah at-Thullab, hal. 106).
2. Pendapat ulama yang mengatakan bahwa tinta cumi-cumi haram dikonsumsi. Pijakan pandangan tersebut berasal dari ketentuan umum dalam hewan bahwa segala sesuatu yang tergolong bagian dalam hewan dan bukan merupakan juz (bagian) dari hewan maka dihukumi najis, termasuk cairan hitam ini, sebab menurut pandangan golongan ulama ini tinta cumi-cumi itu bukan dari bagian luar, melainkan bagian dalam.
Dari mana sumbernya? Berikut dijelaskan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin:
الذي يظهر أنّ الشيء الأسود الذي يوجد في بعض الحيتان وليس بدم ولا لحم نجس, إذ صريح عبارة التحفة أنّ كلّ شيء في الباطن خارج عن أجزاء الحيوان نجس, ومنه هذا الأسود للعلّة المذكورة إذ هو دم أو شبهة
“Cairan hitam yang ditemukan pada sebagian makhluk laut dan bukan merupakan daging ataupun darah dihukumi najis. Sebab teks dalam kitab Tuhfah menegaskan bahwa sesungguhnya setiap sesuatu yang berada di bagian dalam adalah sesuatu yang bukan termasuk dari juz (juz/organ) hewan dan dihukumi najis, termasuk cairan hitam ini, karena alasan yang telah dijelaskan. Sebab cairan hitam ini sejatinya adalah darah atau serupa (dengan darah).” (Syekh Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 15)
Kesimpulan:
Pada hakikatnya para ulama tidak berselisih dalam perkara kehalalan cumi-cumi, melainkan pada tinta yang melekat padanya.
Jika ingin mengambil pendapat yang pertama maka boleh memasak cumi-cumi berikut dengan cairan tintanya dan halal untuk konsumsi.
Jika mengambil pendapat yang kedua, maka boleh memakan cumi-cumi tersebut dengan syarat harus bersih dari segala tinta yang ada padanya saat hendak dikonsumsi.
Kedua pendapat tersebut dapat digunakan oleh masyarakat tanpa mengharamkan satu sama lain.
والله أعلم بالصواب
Previous
Posting Lebih BaruNext
Posting Lama
Posted by Mei 25, 2020 and have
0
komentar
, Published at